Berdamai dengan Ideologi #2


idLapangan

Bukan tentang Pancasila atau teori-teori ideologi lainnya. Lebih kepada pandangan diri terhadap menyikapi situasi. Di gembleng dalam atmosfer organisasi dan budaya sakralitas ruhani, disini – di Solo – saya pun perlahan menggenggam satu dua prinsip baru. Tentang bagaimana cara hidup, bagaimana nilai dan prosedur bermasyarakat, bahkan hingga bagaimana memberontak pada kesalahan teori yang jauh panggang dari api ketika di apply pada dunia sesungguhnya.

Di Pemalang, ketika bersua dengan kawan-kawan lama, dalam sebuah sesi lanjutan, cukup banyak yang di obrolkan, mengenai sistem pendidikan, sistem pemerintahan, bahkan mengenai pertanyaan dasar yang mengusik nalar, tentang kenapa kok bisa jadi seperti ini? Kenapa kita menjadi manusia yang seperti ini? Dalam, padat, menghujat instrospeksi untuk melakukan inspeksi ada diri sendiri. Satu menyalahkan pemerintah, satu menyalahkan takdir, satu netral, dan satunya – saya – menceriterakan tentang yang saya tau. Tentang Solo, tentang organisasi, tentang pemerintah, tentang agama. Satu kaget bukan kepalang, satu berkata itu semua tak akan bisa dipercaya sepenuhnya, karena tak pernah ada bukti. Teori konspirasi, selalu off the record.

Memang, bingungnya bukan main ketika keseluruhan ide yang disintesis dari kota perantauan coba diinstall di tanah kelahiran. Jangankan bicara kecamatan, apalagi daerah tingkat II, berkaca pada kenyataan di sekitar rumah masa kecil saja sudah ngelus dada. Mulai darimana? Dimana awal, dimana akhir, dimana pelita dan yang mana gelap? Semuanya tampak kosong saja, nol, dan berbeda. Saat saya tarik memori masa dulu, ternyata tidak banyak berubah, berubahpun ke arah yang lebih antah berantah. Lalu kenapa saya begitu kaget?

Melihat ibu dan adek saya yang tidak sejalan dengan teori yang dituturkan di pengajian-pengajian ruhani, rasanya hopeless. Di Pemalang pengajian identik dengan ibu-ibu dan mbah-mbah yang anaknya udah pada gede kerja di luar kota, jadi untuk membunuh kesepian, ke pengajian dah itu ibu-ibu – atau ngrumpi di pelataran rumah. Di Solo, pertama kali saya ogah-ogahan ke kajian-kajian. Kemudian dibuat kaget karena kajian disini berkumpul mahasiswa dan pemuda yang kritis, bahasannya dinamis, taktis, dan strategis. Keren kalo kajian di Solo.

Langkah Benar

Ingat pada sebuah petuah Faryska Nur I, jadilah ringan agar mudah diangkat. Dalam bahasan kepemimpinan, ga perlu memberontak, nurut aja biar dilirik para pengambil kebijakan, kan nanti gampang kalo mau jadi pimpinan. Beberapa yang ekstrim menganggap itu sebagai menjilat. Beberapa yang toleran menganggapnya sebagai strategi, asalkan tidak hina-hina banget. Saya tidak akan membahas lebih dalam tentang kepemimpinan lagi. Akan saya giring petuah ini pada bahasan ideologi yang sedari awal mau saya paparkan disini.

Melihat realita di kampung saya – dan kampung teman-teman SMA saya – perlu ada sebuah pratinjau, sebelum melakukan eksekusi ide dan gagasan. Butuh penyamaan frame bertindak, dan analisis sosial. Dalam salah satu tulisan Yuli Ardika P, dikatakan bahwa mahasiswa mesti mampu dan mau bersikap sebagai pemimpin kultural. Pemimpin yang inklusif dan mengerti serta paham, apa yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Urgensi dilakukan public assesment adalah kepentingan yang mesti didahulukan. Inilah, kenapa saya sebut sebagai berdamai dengan ideologi.

Ideologi, ide, gagasan, pengetahuan praktis, keterampilan taktis, dan serangkaian rancangan strategis tidak akan mempan diarahkan pada target yang berbeda secara penuh, berbeda dalam fisik maupun psikis. Perlu dilakukan dua hal, ke dalam dan ke luar, menurut Ahmad Burhan R. Ke dalam maksudnya adalah melihat kemampuan dan pengetahuan diri, dalam istilah singkat disebut sadar diri. Ke luar maksudnya adalah melakukan analisis sosial, public assesment, massa ini butuh apa, masyarakat ini kurang apa sehingga perlu dilakukan perubahan. Jangan sampai kita memberi apa yang tidak mereka butuh. Fatal.

Satu

Pada prinsipnya, satu yang mesti dilakukan. Bukan menggagas plan A B C D dan seterusnya. Bukan menyalahkan pihak dan sistem yang telah berlaku. Bukan menggerutu di pinggiran kantor pemerintahan. Bukan diam menyepi menulis keluh dan kesah dipojokkan kamar. Tapi bangkit melawan, melawan ego dan superego yang sok idealis padahal saklek dan tidak humanis. Melawan dengan merendah. Bukan analisa sosial, tapi analisa nalar diri, sudah pantas kah untuk merubah? Sudah pas kah untuh menggugah? Dan sudah lengkap kah untuk memperbaiki yang salah?

Diri adalah cermin. Kita adalah wujud dari rumah kita. Kita adalah bayangan ari lingkungan kita. Tipis, tak tersentuh, menempel, kadang memanjang, kadang hilang tak tau dimana gerangan. Dan bayangan, selalu hitam. Maka sudahkah kita berada di tempat yang tak berbayang? Kalo belum, maka jadilah pelita, bukan hanya satu, tapi ribu, juta, hingga tak tersisa bayang-bayang hitam.

Adi Sutakwa

20130127

MENUJU MASTERPLAN,  ADI SUTAKWA MERDEKA

Reply me, or Comply me. Or just leave me a message.